728x90 AdSpace

Latest News
Kamis, 16 April 2015

Islamophobia dari Masa ke Masa


SahabatIslami.com - Gerkan islamophobia di Indonesia sesungguhnya sudah lama mewabah di Indonesia. Kalau disepakati kita dapat langsung memulainya dari rezim Soekarno meski kolonial Belanda pun sudah sering mengampanyekan gerakan memusuhi Islam.

Soekarno sendiri tidak pernah memusuhi Islam tetapi menyingkirkan tokoh-tokoh Islam yg kebetulan menjadi lawan-lawan politiknya. Banyak tokoh muslim yg dipenjarakannya bahkan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia pun ikut diberangus. Apa yang terjadi di zaman Soekarno lebih tepat dikatakan sebagai perbedaan dua pandangan mungkin juga ideologi islamisme dan nasionalisme. Apalagi sebagian tokoh muslim menganggap banyak perilaku Soekarno yang tak mencerminkan nilai- nilai islami. Tetapi Soekarno bukanlah orang yg buta terhadap Islam. Dia menguasai dengan baik mengenai sejarah dan filosofi Islam. Dia mampu melafalkan ayat-ayat suci Alquran dan hadis Nabi dengan fasihnya. Sering ia berdebat dgn tokoh-tokoh Islam terutama dengan sahabatnya yangg tokoh Muhammadiyah Hasan Dien saat ia diasingkan pemerintah kolonial Belanda di Bengkulu.

Lebih Canggih Usaha penyingkiran tokoh-tokoh Islam ini dilanjutkan secara lebih canggih pada masa kekuasaan Soeharto. Bahkan penyingkiran dilakukan lebih sistematis lewat beberapa gerbong utama yang dikendalikan oleh jenderal-jenderal nonmuslim atau mereka yang kurang suka melihat perkembangan Islam di Indonesia.

Ketika Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban berada di bawah pimpinan Sudomo waktu Ali Moertopo jadi ”bos” intelijen di Indonesia dan ketika LB Moerdani mulai menjadi petinggi militer maka upaya penggembosan terhadap Islam dan tokoh-tokohnya makin santer dilakukan.

Celakanya tak sedikit tindak kekerasan atau teror yg justru direkayasa oleh elite-elite militer sendiri. Bahkan teror yang dilabelkan pada kelompok Islam bisa dijadikan ajang promosi karier militernya. Kendati demikian beberapa aksi teror pernah dilakukan beberapa kelompok Islam terhadap pemerintah karena merasa sudah tak punya harapan lagi utk melawan kecuali dengan melancarkan teror itu sendiri.

Puncak perselisihan antara penguasa dan tokoh-tokoh Islam terjadi sejak dekade 1980-an ketika rezim Soeharto memaksakan asas tunggal Pancasila. Banyak tokoh muslim yang menentangnya meski tidak sedikit yang menerimanya. Kasus Tanjung Priok juga diarahkan pihak tertentu utk mencitrakan radikalisme dalam Islam. Nama-nama seperti Abdullah Sungkar Abdul Qadir Jailani AM Fatwa Syarifin Maloko Amir Biki Warsidi dan Abu Bakar Ba’asyir selalu menjadi incaran para intelijen. Mereka selalu menempel ketat para tokoh Islam saat berdakwah lalu mencari peluang utk menyeretnya ke pengadilan.

Tekanan Asing Kelompok Islam baru merasa ”nyaman” di masa kekuasaan Habibie salah seorang tokoh pendiri Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia . Di masa pemerintahan Gus Dur muncul sejumlah milisi sipil bernafas keagamaan seperti Laskar Jihad dan Front Pembela Islam yang berniat menegakkan kebenaran dengan caranya sendiri. Gus Dur sendiri sering bersitegang dengan kedua laskar itu. Dalam perkembangan di kemudian hari citra kedua laskar ini identik dengan kekerasan di jalanan dan akhirnya meresahkan masyarakat. Sekarang kedua laskar itu sudah tak eksis lagi menyusul pembubaran dan/atau pembekuan aktivitasnya.

Bagaimana islamophobia di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri? Agaknya ia menghadapi persoalan berat karena gerakan menyingkirkan tokoh-tokoh Islam ini lebih berdasarkan tekanan pihak asing. Celakanya AS sudah berteriak siapa pun yang tidak mendukung ”perang terhadap terorisme internasional” akan dianggap sebagai lawan! Menko Polkam Soesilo Bambang Yudhoyono dan Kapolri Jenderal Pol Da’i Bachtiar memang pernah membantahnya. Namun nuansa pemaksaan pihak asing yang amat kental membuat banyak kalangan yang tidak percaya begitu saja. AS mulai mengarahkan sasaran kepada Islam ketika negara itu kehilangan musuh bebuyutannya komunisme yang hancur bersamaan dgn ambruknya Uni Soviet dan negara-negara di Eropa Timur lainnya.

Tragedi 11 September justru dijadikannya sebagai momentum terbaik untuk melancarkan serangan terhadap umat Islam meski baru sebatas membumihanguskan Afghanistan. Demikian pula dengan ledakan bom di Sari Club Jalan Legian Kuta yang langsung dijadikan bahan bagi AS utk menggoyang kelompok Islam di Indonesia terutama yang diduga mempunyai link dengan Al-Qaedah. 

Upaya alienisasi eksistensi dan peranserta umat Islam dilakukan dengan menempelkan sebutan dan citra yang buruk bagi kekuatan-kekuatan Islam seperti teroris, fundamentalis, radikal, militan dan sebagainya. Tidak jarang para ulama yang saleh pun terjebak utk menempelkan stigma buruk ini terhadap kelompok Islam yang tidak sehaluan dengannya. Setelah itu musuh-musuh Islam dengan mudah mengidentifikasi dan melokalisasi kekuatan-kekuatan Islam. Unsur-unsur militan kaum muslim yang sebenarnya jadi perisai umat malah dipisahkan dari mereka. Sebenarnya mengidentikkan terorisme dengan Islam adalah fitnah besar apalagi jika makna teror diartikan sebagai serangan tanpa pandang bulu.

Islam justru datang mengajarkan adab-adab dalam berperang ketika konflik senjata/fisik sudah tidak dapat dihindari. Beberapa literatur fiqih menunjukkan betapa Islam mengajarkan larangan merusak hal-hal yang sama sekali tidak terkait dengan peperangan melarang pembunuhan orang-orang yang tak berdaya . Ia juga membatasi sasaran-sasaran perang bahkan cara melumpuhkan dan membunuh lawan hingga perlakuan terhadap harta rampasan perang serta tawanan pun sudah ada ketentuannya. 
Falsafah perang dalam Islam adalah menolak kerusakan dan hanya dibolehkan jika Islam diperangi. ”Telah diizinkan bagi orang-orang yg diperangi karena mereka sesungguhnya telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka.”
 [hn/sahabatislami.com]
  • Facebook Comments